DreamChaser

Free Expression in Thinking. What's on Your mind? Just Share with Us!

Pages

Minggu, 16 Mei 2010 di Minggu, Mei 16, 2010 Diposting oleh Gung Wizz ... 1 Comment

Belakangan ini Gw (Agung Wisnawa) trus nyari2 artikel tentang "Steven Johnson Syndrome" di Internet. Ternyata Syndrome ini ngga seindah namanya. Ini Artikelnya, selamat membaca:

Hanif Musyaffa Tewas Mengenaskan

HANIF Musyaffa (10 bulan), anak semata wayang pasangan Arief Surachman (30)
dan Mia Melani (23) telah pergi untuk selamanya. Hanif pergi di usianya yang
masih sangat muda. Hanya sepuluh bulan, ibunya, Mia, diberi kesempatan untuk
merawat Hanif dan hanya sepuluh bulan pula dia menyaksikan kelincahan,
kelucuan, dan keluguan anak lelakinya itu.

Minggu (18/12), Hanif meninggal dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan.
Seluruh kulit di tubuhnya melepuh seperti terbakar. Mulut, lidah, dan
kelopak matanya pun ikut melepuh, ditambah dengan cairan yang keluar begitu
luka-luka itu terbuka dan mengelupas. Untuk minum dan makan hanya bisa
ditetesi dengan menggunakan kapas."Tubuh Hanif melepuh dan saya hanya bisa
menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa untuk mengurangi rasa sakit yang
dideritanya," ujar Mia sambil berkaca-kaca.

"Saya tidak tega melihatnya," tambahnya. Tidak terbayang betapa parah rasa
sakit diderita Hanif. Untuk menangis saja dia tidak sanggup. Mengedipkan
mata pun yang keluar hanyalah darah," kata Mia, sambil sesekali berhenti
berkata dan menghela napas panjang

Mia yang beralamat di Jln. Raya Ujungberung No. 228, menceritakan dari awal
kenapa anaknya bisa mengalami hal itu. Awalnya Hanif hanya terserang panas
biasa disertai mencret. "Malam Jumat (9/12-red) Hanif mulai sakit, lalu
dikasih obat panas yang diresepkan oleh dokter pribadi kami," ujarnya.

Setelah diberi obat, suhu tubuh Hanif naik turun. Karena tidak kunjung
membaik, orang tua Hanif lalu membawanya ke rumah sakit atas rujukan dokter
pribadi.

Dokter jaga di salah satu RS Bandung, memberi Hanif obat panas racikan dan
obat mencret sirup. "Di rumah, Hanif diberi obat tetapi malah
kejang-kejang," kata Mia.

Karena khawatir, keluarga membawa kembali Hanif ke dokter semula, yaitu
dokter pribadinya. Dokter pribadi, lanjut Mia, mengganti lagi obat racikan
dari RS dengan empat macam obat baru. Obat panas, antibiotik, obat mencret,
dan obat kejang.

"Malam harinya, Hanif menangis terus dan gelisah. Tiap sepuluh menit sekali
mencret," ujarnya.

Keesokan harinya, sekira pukul 4.30 WIB, mulai muncul bintik-bintik seperti
campak dan mulutnya melepuh seperti sariawan. Mia langsung menelefon dokter
pribadinya untuk memeriksakan Hanif. Dokter mengatakan, Hanif harus dibawa
ke laboratorium untuk pemeriksaan darah, karena dikhawatirkan terserang
demam berdarah atau tifus.

Hasil pemeriksaan laboratorium menyebutkan, Hanif terkena penyakit campak.
"Oleh dokter diberi obat campak dan obat sariawan," kata Mia.

Dokter juga menyarankan Hanif untuk tidak dirawat dan dianjurkan untuk tetap
meminum empat macam obat yang sebelumnya diberikan. Namun, Sabtu (11/12)
siang, keadaan Hanif semakin mengkhawatirkan. Selain tidak bisa makan dan
minum, seluruh badannya mulai melepuh seperti luka bakar. Pihak keluarga
kemudian membawa Hanif ke salah satu RS di Bandung. Hanif langsung diinfus
dan hidungnya diselang untuk saluran makan, sementara dokter jaga RS
memeriksa seluruh tubuh Hanif. Dokter pribadi Hanif kemudian memberi resep
melalui dokter jaga tanpa pemeriksaan terlebih dahulu oleh dokter pribadi.
"Obat tersebut disuntikkan ke Hanif, tapi dokter sendiri tidak datang untuk
memeriksa langsung keadaan Hanif hanya melalui dokter jaga," ujar Mia.

Setelah disuntik keadaan Hanif semakin memburuk, pihak keluarga kemudian
memindahkan Hanif ke RS yang lebih besar dengan fasilitas yang lebih
komplet. Begitu pindah RS, Mia menyebutkan, Hanif langsung diinfus dan
diberi oksigen, karena napasnya semakin sesak. Suster yang menangani Hanif
mengatakan, Hanif mengalami keracunan obat. Setelah melalui pemeriksaan tiga
dokter spesialis (spesialis anak, kulit, dan mata), Hanif diduga terkena
Steven Johnson Syndrome, yaitu alergi atau keracunan terhadap jenis obat
tertentu. Dokter juga menyebutkan kalau paru-paru Hanif sudah mengalami
kerusakan berat akibat keracunan ini.

Mia mengatakan, ketika itu suara Hanif sudah hilang dan kelopak matanya juga
ikut melepuh. Dokter yang menangani Hanif menyebutkan kalau tidak segera
ditangani Hanif bisa mengalami kebutaan.

Sekira enam hari Hanif dirawat di ruang anak, namun keadaannya tidak
membaik. Akhirnya, Sabtu (17/12) malam Hanif masuk ICU dan hanya bertahan
sekira 12 jam, sampai akhirnya Minggu (18/12) pukul 10.45 WIB Hanif
meninggal dunia. Ternyata infeksi yang diderita Hanif sudah menjalar ke otak
dan organ tubuh lainnya. Kalaupun diberi kesempatan hidup, akan mengalami
kecacatan.

Iman Sulaiman (25), paman Hanif mengatakan, pihak keluarga tidak akan
menuntut pihak rumah sakit ataupun dokter yang menangani Hanif. Namun,
sebagai wakil dari pihak keluarga sangat menyayangkan sikap dokter
pribadinya yang terkesan cuci tangan terhadap kejadian tersebut. Iman hanya
mengimbau kepada masyarakat dan tim medis agar jangan sampai terjadi lagi
kasus-kasus serupa. "Cukup Hanif yang menjadi korban," ujarnya.

Lebih lanjut, Iman menjelaskan, kenapa pihaknya tidak berniat menuntut siapa
pun dalam kasus ini. Selama ini, menurut Iman, kasus malapraktik yang
diajukan ke meja hijau tidak pernah tuntas. "Bahkan setelah melalui puluhan
sidang pun tetap menemui jalan buntu," ujarnya. Kejadian ini, lanjut Iman,
merupakan bahan pembelajaran bagi semua orang agar lebih jeli dan teliti
dalam memilih pengobatan yang terbaik terutama bagi anak-anak.

"Steven Johnson Syndrome"

Sementara, menurut dr . Budi Setiabudiwan, dokter spesialis anak di RS Hasan
Sadikin Bandung, Stevens Johnson Syndrome merupakan suatu penyakit sistemik
yang menyerang kulit. Kelainan kulit ini sebagian besar akibat alergi
terhadap satu jenis obat tertentu. "Jika alergi terhadap obat, manifesnya
pada kulit," ujar dokter ahli alergi imunologi ini.

Di tiap negara, tambah Budi, penyebabnya berbeda-beda. Bisa dari antibiotik
atau juga antiepilepsi. Namun, biasanya juga akibat bawaan dari anak.
Terdapat empat jenis alergi yang biasanya terjadi, Eritema Multiformis,
Stevens-Johnson Syndrome, Overlapping Toxic Epidermo Necrolysis dan Steven-Johnson, dan yang terakhir adalah Toxic Epidermo Necrolysis. Steven Johnson
adalah alergi tingkat sedang yang selain menyerang kulit juga menyerang
mata, anus, dan alat kelamin.

Budi menjelaskan anak yang terkena sindrom ini kulitnya akan melepuh. Untuk
penanganannya harus dilakukan secepat dan sesegera mungkin. Sebab, lanjut
Budi, jika kulit terkelupas , cairan tubuh akan banyak keluar dan rentan
terjadi infeksi akibat kuman yang masuk. Untuk itu, pasien harus segera
masuk ke ruangan ICU untuk mendapatkan perawatan yang intensif.

Sebetulnya kesalahan pemberian obat, menurut dokter Budi, bukan sepenuhnya
kesalahan dari seorang dokter. Harus ada komunikasi yang baik antara dokter
dengan pasien. "Orang tua harus ditanya terlebih dahulu, apakah anaknya
alergi terhadap satu jenis obat atau tidak?" ujar Budi. Selain itu, dokter
juga harus terus memonitor keadaan pasien terlebih jika diketahui pasien
tersebut menunjukkan gejala alergi terhadap obat tertentu.



Ini adalah beberapa referensi gambar 2 Steven johnson yang Gw copy dari web, biar wawasan pembaca lebih jelas ttg pnyakit ini : 


              


Lebih Lengkap Tentang SJS

Pendahuluan
Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal pula sebagai eritem multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata, vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat berkembang menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan dapat berlanjut menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%
Gambar 1. Perbedaan Eritema multiformis, Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis
Definisi
Stevens-Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. Walaupun pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari pengobatan, infeksi dan terkadang keganasan.
Penyebab
Sindrom Stevens Johnson dapat disebabkan oleh karena :
1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis, virus Epstein-Barr, atau sejenisnya),
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, fluconazole, valdecoxib, sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfonamide, fenitoin, azitromisin, modafinil, lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, ethosuximide, carbamazepin),
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma), atau
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
Sindrom Stevens Johnson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng. Sindrom Steven Johnson juga mungkin disebabkan oleh karena penggunaan kokain.
Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infeksi viral, keganasan atau reaksi alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis, sindrom Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide (antibiotik), penisilin (antibiotic), barbiturate (sedative), lamotrigin (antikonvulsan), fenitoin – dilantin (antikonvulsan). Kombinasi lamotrigin dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.
Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini. Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Manifestasi Klinis
SJS biasanya mulai timbul dengan gejala-gejala seperti infeksi saluran pernapasan atas yang tidak spesifik, kadang-kadang 1-14 hari. Ada demam, susah menelan, menggigil, nyeri kepala, rasa lelah, sering kali juga muntah-muntah dan diare. Muncul kelainan kulit, seperti koreng, melepuh, sampai bernanah, serta sulit makan dan minum. Bahkan juga mengenai saluran kencing menyebabkan nyeri.
Kelainan kulit bisa dimulai dengan bercak kemerahan tersebar vesikel dan membesar hingga menimbulkan jaringan parut, terutama pada selaput lendir seperti di hidung, mulut, mata, alat kelamin, dan lain-lain. Berat ringannya manifestasi klinis SJS bervariasi pada tiap individu bisa dari yang ringan sampai berat menimbulkan gangguan pernapasan dan infeksi berat sampai mematikan.
Gambar 2. Manifestasi Klinis Steven-Johnson Syndrome
Penatalaksanaan
Seluruh pengobatan harus dihentikan, khususnya yang diketahui menyebabkan reaksi SJS. Penatalaksanaan awalnya sama dengan penanganan pasien dengan luka bakar, dan perawatan lanjutan dapat berupa suportif (misalkan cairan intravena) dan simptomatik (misalkan analgesik, dll), tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit ini. Kompres saline atau Burow solution untuk menutupi luka kulit yang terkelupas/terbuka. Alternatif lainnya untuk kulit adalah penggunaan calamine lotion. Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial semenjak hal itu dapat menyebabkan perburukan kondisi dan peningkatan resiko untuk terkena infeksi sekunder. Zat lainnya yang digunakan, antara lain siklofosfamid dan siklosporin, namun tidak ada yang berhasil. Pemberian immunoglobulin intravena menunjukkan suatu hal yang menjanjikan dalam mengurangi durasi reaksi alergi dan memperbaiki gejala. Pengobatan suportif lain diantaranya penggunaan anestesi nyeri topikal dan antiseptic, yang dapat menjaga lingkungan tetap hangat, dan penggunaan analgesic intravena. Seorang oftalmologis atau optometris harus dikonsultasikan secepatnya, oleh karena SJS sering menyebabkan pembentukan jaringan parut di dalam bola mata yang kemudian menyebabkan vaskularisasi kornea dan terganggunya penglihatan, dan gangguan mata lainnya. Diperlukan pula adanya program fisioterapi setelah pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
Prognosis
Steven-Johnsons Syndrome (dengan < 10% permukaan tubuh terlibat) memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan menggunakan skala SCORTEN, dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan. Outcome lainnya termasuk kerusakan organ dan kematian.
Tabel 1. Perbedaan Eritema Multiformis, Steven-Johnsons Syndrome, dan Toxic Epidermal Necrolysis
(Di-postkan oleh Gung Wisnawa dari berbagai sumber)

1 Response so far.

  1. Temen saya juga baru meninggal karna steven jhonson. Diagnosa pertamanya katanya dia kena hepatitis b. Ternyata dia kena steven jhonson. Dia juga anak semata wayang.

Posting Komentar

Sehabis Baca Artikel, MohoN di-CommeNt yaH??

    Powered By Blogger

    ILLumINaTI

    FreeMaSoNry

    FreeMaSoNry
    ToTaL Mind CoNtRoLLing...The FreeMason ProduCT is You !! Learn more !!

    Followers